Senin, 28 November 2011

SANG PEMBUAT ATRIBUT PASKIBRAKA


Bpk. Idik Sulaeman
H. Idik Sulaeman Nataatmadja, AT (lahir di KuninganJawa BaratIndonesia20 Juli 1933; umur 78 tahun; biasa dipanggil dengan Idik Sulaeman) adalah pencetus nama PASKIBRAKA. Adik didik Husein Mutahar di kepanduan ini jugalah yang menyempurnakan seluruh kelengkapan Paskibraka sebagai sebuah Korps, mulai dari sistem/metode pelatihan, silabus, atribut dan kelengkapannya.
Idik menghabiskan masa kecil di daerah kelahirannya, sampai tamat SMP di Purwakarta dan pindah ke Jakarta saat masuk SMA. Sejak kecil, jiwa seni sudah terlihat dalam dirinya. Tak heran bila setamat SMA Idik memilih seni rupa sebagai pilihan profesinya dengan menamatkan pendidikan sebagai sarjana seni rupa di Departemen Ilmu Teknik Institut Teknologi Bandung ITB pada 9 April 1960.
Idik Sulaeman memulai kariernya di Balai Penelitian Tekstil (1960-1964). Pada 1 Februari 1965 ia diangkat menjadi Kepala Biro Menteri Perindustrian dan Kerajinan yang saat itu dijabat Mayjen TNI dr. Azis Saleh.
Dunia seni dan tekstil harus ditinggalkan ketika Idik pindah kerja ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), sebagai Kepala Dinas Pengembangan dan Latihan pada 1 Desember 1967. Saat inilah, ia banyak membantu Husein Mutahar dalam mewujudkan gagasannya membentuk Paskibraka.
Bersama dengan para pembina lainnya, Idik membantu Mutahar menyempurnakan konsep pembinaan Paskibraka. Pasukan yang pada tahun 1966 dan 1967 diberi nama Pasukan Pengerek Bendera Pusaka, pada tahun 1973 mendapat nama baru yang dilontarkan oleh Idik. Nama itu adalah PASKIBRAKA, yang merupakan akronim dengan kepanjangan PASuKan PengIBar BendeRA PusaKA.
Selain memberi nama, Idik juga menyempurnakan wujud Paskibraka dengan menciptakan Seragam Paskibraka, Lambang Korps, Lambang Anggota, serta Tanda Pengukuhan berupa Lencana Merah-Putih Garuda (MPG) dan Kendit Kecakapan.
Pada 30 Juni 1975, ia diangkat menjadi Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pembinaan Kegiatan di Direktorat Pembinaan Generasi Muda (Ditbinmud). Pada 9 Maret 1977, ia mencapai posisi puncak di Ditbinmud setelah ditunjuk sebagai Pelaksana Harian Direktur Pembinaan Generasi Muda, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga (Ditjen PLSOR). Tiga tahun penuh ia benar-benar menjadi ”komandan” dalam latihan Paskibraka, yakni Paskibraka 1977, 1978 dan 1979.
Pada 24 November 1979, Idik ditarik ke Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Dikdasmen) dan menjabat Direktur Pembinaan Kesiswaan sampai 15 November 1983. Selama empat tahun itu, dengan latar belakang pendidikan seni rupa dan pengalaman kerja di bidang tekstil, Idik mencatat sejarah dalam penciptaan seragam sekolah yang kita kenal sampai sekarang: SD putih-merah, SMP putih-biru dan SMA putih-abu-abu, lengkap dengan lambang sekolah dasar (SD) dan OSIS yang kini selalu melekat di saku kiri seragam sekolah.
Idik menikah dengan Aisah Martalogawa pada 29 Oktober 1961, Idik dikaruniai tiga anak, yakni Ir. Ars Isandra Matin Ahmad (yang beristrikan Ir.ars Retno Audite), Isantia Dita Asiah (yang bersuamikan Drs. Mohammad Imam Hidayat), dan Dra Isanilda Dea Latifah yang bersuamikan Ari Reza Iskandar). Dari ketiganya, Idik memiliki enam orang cucu, masing-masing 3 cucu laki-laki dan 3 cucu perempuan.

Struktur Organisasi Paskibra SMP Negeri 8 Padang

STRUKTUR ORGANISASI

PEMBINA :
Drs. Ahmad Nurben

PELATIH :
Choneron Wincy S.Pd 

KOMANDAN :
Niken Yulika

WAKIL KOMANDAN :
Zihaul Abdi

SEKRETASRIS / BENDAHARA :
Aina Almaidah Morgan

SEKSI BIDANG 

1. SEKSI SARANA & PRASARANA :
Ketua : Asyifa
Wakil Ketua : Rahmi Ema Natania

2. SEKSI BIDANG PERLOMBAAN :
Ketua : Radhiah Zulfakhri 
Wakil ketua : M. Ridho Widiyanto

3. SEKRETARIS BIDANG KOMUNIKASI
Ketua : Merlina Fitriani
Wakil Ketua : Aulia At-thariq Iskandar

4. SEKRETARIS BIDANG KONSUMSI
Ketua : Nor Adzillah Adya
Wakil Ketua : Funnia Alvionita Irawan

Tentang PASKIBRA SMP NEGERI 8 PADANG


Adalah sebuah organisasi kepemudaan dibawah naungan sekolah SMP NEGERI 8 Padang, 
Organisasi ini berdiri tanggal 30 Mei 2010 dengan Pembina pertamanya yakni Bapak Drs. Ahmad Nurben, dengan Pelatih utama nya yaitu Bapak Choneron Wincy S.Pd (Kak Eron)
Paskibra Spendel sebagai organisasi kepemudaan, seiring dengan perkembangan zaman telah berevolusi dan mempunyai sebuah penataan diri baik dari segi pembinaan fisik, mental dan spiritual dan dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab, kedisiplinan dan taat serta patuh dengan apa yang tertuang dalam Agama, Pancasila, Peraturan Sekolah,  mempunyai pengharapan besar terhadap generasi muda anggota organisasi pada khususnya dan generasi muda Indonesia Pada umumnya.
dengan Motto (simbol) “PANTANG BENDERA ITU DITURUNKAN SEBELUM TIBA WAKTUNYA“,merupakan sebuah motto dimana diterapkan pada setiap anggota organisasi yang mempunyai keinginan yang tinggi terhadap apa yang menjadi sebuah kebutuhan yang mendasar. karena itulah kecintaan terhadap Agama, Negara serta menjadikan rasa patriotisme yang tinggi kepada seluruh anggota diberikan sejak dini diiringi dengan rasa toleran yang tinggi untuk mencapai rasa musyawarah untuk mufakat yang dapat dijadikan acuan dalam bermasyarakat.

Jumat, 28 Oktober 2011

HUT SMP.N 8 Padang







Hari itu 24 Oktober 2011. Tepat pada 34 tahun yang lalu sekolah kami didirikan, dulu yang hanya sekolah kecil dikelilingi rawa, sekarang telah menjadi sekolah yang sudah dikenal dunia. Dan di hari itu pula, paskibra SMPN 8 Padang bertugas mengibarkan "Sang Merah Putih" untuk memperingati hari jadi sekolah kami yang ke 34. Suatu kebanggan bagi kami. :) dan alhamdulillah kami menjalankan amanah itu dengan baik ! sekali lagi SELAMAT ULANG TAHUN SPENDEL ! :)

Jumat, 10 Juni 2011

H. Mutahar - Sang Penyelamat Bendera Pusaka






Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada hah Jum'at, 17 Agustus 1945, jam 10.00 pagi, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Setelah pernyataan kemer­dekaan Indonesia, untuk pertama kali se-cara resmi bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang pemuda, Latief Hendraningrat dan Suhud. Bende­ra ini dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan bendera ini pula yang ke-mudian disebut "bendera pusaka".

Bendera pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan sampai Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Pada tanggal 4 Januari 1946, karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api me-ninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, ibukota dipin­dahkan ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Pre­siden, wakil presiden dan beberapa peja-bat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Namun, pada saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Soe­karno sempat memanggil salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar. Sang ajudan lalu ditugaskan untuk untuk menyelamatkan bendera pusaka. Penye-lamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian "heroik" dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, Soe­karno berucap kepada Mutahar:

"Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku mem-berikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintah-kan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh ja-tuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau me-ngembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, per-cayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke ta-nganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya."

Sementara di sekeliling mereka bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota, Mutahar terdiam. Ia memejamkan mataya dan berdoa, Tanggungjawabnya terasa sungguh berat. Akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan menca-but benang jahitan yang menyatukan ke­dua bagian merah dan putih bendera itu.

Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, ke­dua carik kain merah dan putih itu berha­sil dipisahkan. Oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Yang ada dalam pemikiran Mutahar saat itu hanyalah satu: bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi ha­nya kain biasa, sehingga tidak melaku-kan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah "prasasti" yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah.
Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presi­den Mohammad Hatta langsung dibawa Bangka. Mutahar dan beberapa staf ke-presidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Ternyata mere­ka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.

Di Jakarta Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, —yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, ia kost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama).
Selama di Jakarta Mutahar selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusa­ka kepada presiden Soekarno. Pada su-atu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberita-huan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya.

Sore harinya, surat itu diambil Mutahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat diba­wa ke Bangka. Bung Karno sengaja tidak memerin-tahkan Mutahar sendiri datang ke Bang­ka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kera-hasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka.
Itu tak lain karena dalam pengasingan, Bung Karno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na­tions Committee for Indonesia). Dan Su­djono adalah salah satu anggota dele­gasi itu, sedangkan Mutahar bukan.

Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Muta­har berupaya menyatukan kembali ke­dua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seo-rang istri dokter —yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya.

Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bende­ra pusaka diberikan Mutahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepa­da Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Bung Karno dengan Mutahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Husein Mutahar. Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka.

Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekar­no dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka de­ngan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pu­saka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

Naskah pengakuan kedaulatan lndo­nesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari setelah itu Soekamo kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, ben­dera pusaka dibawa kembali ke Jakarta.
Untuk pertama kalinya setelah Prok­lamasi bendera pusaka kembali dikibar­kan di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950.   dikutip dari Bulletin paskibraka 78 - Syaiful Azram

Pemanggul Tandu Panglima Sudirman yang Terlupakan






Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia memang takkan pernah dilupakan rakyat. Akan tetapi, tak banyak sosok pejuang yang bisa diingat rakyat. Djuwari (82 tahun), barangkali satu dari sekian banyak pejuang yang terlupakan. Kakek yang pernah memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Soedirman itu, kini masih berkubang dalam kemiskinan. Tepat pada peringatan proklamasi 17 Agustus, Malang Post berusaha menelusuri jejak pemanggul tandu sang Panglima Besar. Djuwari berdomisili di Dusun Goliman Desa Parang Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri, kaki Gunung Wilis. Kampungnya merupakan titik start rute gerilya Panglima Besar Sudirman Kediri-Nganjuk sepanjang sekitar 35 km.
Dari Malang, dusun Goliman bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam perjalanan darat. Kabupaten Kediri lebih dekat di tempuh lewat Kota Batu, melewati Kota Pare Kediri hingga menyusur Tugu Simpang Gumul ikon Kabupaten Kediri. Terus melaju ke jurusan barat, jalur ke Dusun Goliman tak terlalu sulit ditemukan.
Sejam melewati jalur mendaki di pegunungan Wilis, Malang Post pun tiba di pedusunan yang tengah diterpa kemarau. Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman memang sangat jauh dari keramaian kota. Titik start gerilya berada di kampung yang dikepung bukit-bukit tinggi dan tebing andesit.
“Inggih leres, kulo Djuwari, ingkang nate manggul Jenderal Soedirman, sampeyan saking pundi?” kata seorang kakek yang tengah duduk sambil memegang tongkat di sudut rumah warga Dusun Goliman.
Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan.
Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh dibanding baju atasan.
Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen. Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.
“Sing penting wes tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk,” ujar suami almarhum Saminah itu ketika ditanya balas jasa perjuangannya.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),” akunya.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.
“Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit) karo sarung,” imbuhnya.
Ayah dari empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah dipanggil Tuhan setahun lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang Jenderal. Saking seringnya dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya.
“Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh,” katanya.

Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Putra Kastawi dan Kainem itu masih memiliki kisah dan semangat masa-masa perang kemerdekaan. Ketika ditanya soal periode kepemimpinan Presiden Soekarno hingga SBY, Djuwari dengan tegas mengatakan tidak ada bedanya.(bagus ary wicaksono/malangpost - Sumber : http://www.blogcatalog.com/search.frame.php?term=88+tahun&id=af758d4860ce3fa46fcaf3397080bc27)

Rabu, 08 Juni 2011

Saefullah, Anak Petani Jadi Pejabat Publik



Anak Petani Jadi Pejabat Publik
 
saefullahBagi seorang putra petani yang tinggal di pinggiran kota Jakarta, tentu tidak mudah untuk bisa tampil menjadi yang terbaik. Perlu ketekunan dan perjuangan keras untuk meraih cita-citanya. walapun setiap hari harus menyusuri area persawahan di kawasan Marunda dengan berjalan kaki sepanjang 8 Kilometer, Saefullah, tidak pernah patah semangat. Ia tetap rajin datang ke sekolah dan tetap semangat dalam belajar.
Malah masih lekat dalam ingatan Saefullah, ketika akan berangkat ke sekolah ia pernah terperosok ke sawah. “Kalau sekarang ada Laskar Pelangi, justru saya saat itu hidupnya lebih parah dari yang difilmkan itu. Tapi semua saya lakoni dengan senang hati,” ujar Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, seraya mengenang masa lalunya.

Bahkan kala itu, Saefullah mengaku jarang bermain. Sebab, sepulang sekolah Pria Kelahiran Jakarta, tepatnya di Sungai Kendal, Rorotan, Jakarta Utara 11 Februari 1964 itu selalu rajin membantu orangtuanya bercocok tanam di sawah. Jerih payah sebagai anak petani yang serba pas-pasan ia lakoni dengan tabah dan penuh tawakal, sehingga ia berhasil melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah pendidikan guru (SPG) di Jakarta Utara. Usai lulus dari pendidikan SPG tahun 1982, putra pasangan Haji Madali dan Rohani itu dipercaya mengajar sebuah SMP Negeri di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, sebagai tenaga guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tapi tak berapa lama, ia pindah tugas mengajar di SMP Negeri di bilangan Marunda, Jakarta Utara.

Dari sini, Saefullah mulai menunjukan diri sebagai orang mencintai dunia pendidikan. Penghasilan kecil tidak menjadi alasan bagi Putra Betawi ini untuk bermalas-malasan mengajar. Tekatnya ingin menjadi tenaga pengajar yang baik terus ia pupuk. Bahkan, setelah ia menikahi Rusmiati pada tahun 1985, Saefullah kembali melanjutkan kuliah ke jenjang S1. Ketekukan yang ia jalani bersama istri tercintanya ini-meski masih numpang di rumah orang tua-ternyata membuahkan hasil dengan diraihnya gelar sarjana dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhamadiyah, Jakarta, pada tahun 1988.

Doa istri dan kedua orangtua Saefullah ternyata selalu membawa berkah bagi dirinya. Buktinya, setahun setelah kelulusannya, Saefullah langsung berkesempatan bersaing dengan ribuan calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk menjadi tenaga guru di lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Dasar nasib lagi mujur, ia pun diterima.

Sejak ia diterima menjadi PNS di lingkungan Provinsi DKI Jakarta, kredibilitasnya sebagai seorang guru terus dibuktikan. Akhirnya, tak berapa lama menjadi guru, Saefullah dipercaya menjadi Kepala Sekolah di sebuah SMP Negeri di Jakarta Utara. Lantaran prestasinya cukup bagus, ia pun diangkat menjadi Kepala Seksi SMP Suku Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) Jakarta Barat. Kemudian, sejak 10 Juli 2003 hingga 15 Desember 2004, lelaki yang memiliki hobi sepak bola ini dipercaya menjabat sebagai Kepala Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Barat.

Karir yang dibina Saefullah ternyata terus melejit. Buktinya, selepas menjabat sebagai orang nomor satu di jajaran Suku Dinas Dikdas Jakarta Barat, Saefullah kembali dipercaya masuk dalam lingkungan Dinas Pendidikan Dasar menjadi Kepala Sub Dinas SMP Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta, mulai tanggal 16 Desember 2004. Setelah empat tahun menjabat kepala seksi, pada bulan April 2008, ia melejit dipercaya menjadi Wakil Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta hingga 30 Desember 2008. Dan terhitung sejak 31 Desember 2008 Saefullah menjabat Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda

Meski selama berkarir ia telah banyak makan asam garam dunia pendidikan, namun Saefullah tetap bersemangat mendalami dunia pendidikan di Provinsi DKI Jakarta. Buktinya, ia tetap melanjutkan pendidikanya hingga ke jenjang doktoral (S3). Dalam disertasinya, ia menyebutkan, pengorganisasian berpengaruh terhadap signifikan terhadap kualiatas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Provinsi DKI Jakarta.  [sourch info : 
http://www.beritajakarta.com/2008/id/Profil_Detail.asp?ID=126 ]